PIDANA MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Abstract
Sanksi pidana mati bagi setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, tetapi lebih bersifat sebagai pemberatan pidana. Pidana mati hanya dapat dijatuhkan apabila pelaku tindak pidana yang diatur dalam Pasal 76D Undang-Undang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah terakhir melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2016, jika terpenuhinya syarat-syarat tertentu berupa korban lebih dari satu orang, korban mengalami luka berat, korban mengalami gangguan jiwa, korban menderita penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi dari korban, dan/atau korban meninggal dunia. Rumusan Pasal 81 ayat (5) berpeluang menimbulkan permasalahan dalam penerapannya.Hal ini dapat terjadi karena ketidaktegasan perumusan syarat penjatuhan pidana mati, apakah persyaratan pemberatan tersebut bersifat kumulatif atau alternatif.Kumulatif dalam arti keharusan adanya enam syarat pemberat pidana, syarat alternatif berarti hanya menuntut terpenuhinya satu syarat saja dari enam unsur pemberat pidana.
Menjatuhkan sanksi bagi pelaku perkosaan terhadap anakdalam hukum Islam, diperlukannya empat orang saksi laki-laki yang adil, berdasarkan alat-alat bukti yang sah, dan orang yang melakukan perbuatan tersebut harus mengakui secara terus-terang.Apabila kasus perkosaan itu telah memenuhi syarat dan dapat dibuktikan kebenarannya, sebagaimana dalam ketentuan yang telah ditetapkan, maka pelaku pemerkosaan baru dapat dijatuhi sanksi dengan ketentuan hukum yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an sebagai pelaku zina.Pemerkosa dihukum pada masa Nabi Saw, dan korban perkosaandilepaskan dengan harapan akan memperoleh ampunan dari Allah Swt. Pada saatitu, hukuman pemerkosaan yang dilakukan dengan cara paksa dan kekerasan,sama persis dengan hukuman perzinahan, yang tidak dilakukan dengan pemaksaandan kekerasan. Karena itu, mayoritas ulama hadis dan ulama fiqh menempatkantindak perkosaan sama persis dengan tindak perzinahan. Hanya perbedaanya,dalam tindak perzinahan kedua pelaku harus menerima hukuman, sementara dalamtindak perkosaan hanya pelaku pemerkosa yang menerima hukuman, sementarakorban harus dilepas.
Full Text:
PDF (Bahasa Indonesia)DOI: http://dx.doi.org/10.24042/asas.v9i2.3251
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2017 ASAS
ASAS : Jurnal Hukum Ekonomi Syariah [The ASAS Journal of Sharia Economic Law] is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. Copyright © Sharia Economic Law Department, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. e-ISSN 2722-86XX